Review Novel Hujan
Pagi itu, saat kapsul kereta yang ditumpangi Lail melaju cepat, salah satu gunung meletus. Itu bukan gunung biasa. Itu gunung purba. Seperti terukir dalam catatan sejarah, betapa dahsyatnya letusan Gunung Krakatau atau Tambora. Tapi kali ini ledakan gunung purba itu lebih dahsyat daripada kedua gunung itu- seratus kali lebih dahsyat. Semaju apapun teknologi di muka bumi, tidak ada yang bisa mencegah kejadian itu. Bencana alam yang mematikan.
Hujan gerimis membungkus kota. Lail tersengal, duduk di atas trotoar. Wajahnya pucat. Dia baru saja melewati kengerian yang tidak pernah bisa dia bayangkan sebelumnya. Lail, dia baru berusia tiga belas tahun. "Ibu..." Tapi saat Lail berdiri tegak, menyeka wajah yang kotor dan basah oleh air hujan, melihat sekitar, menatap kota, kengerian yang lebih besar terhampar di depan mereka.
Kota indah mereka telah hancur oleh gempa bumi berkekuatan 10 skala Richter.
"Anak laki-laki itu lebih dulu cekatan meyeret tubuh Lail, menariknya lari melintasi lantai ruangan, menendang pintu, persis sebelum lantai ruangan itu ikut runtuh."
Gerimis mulai menderas, seperti menangis menatap sekitar. Lail selalu suka hujan, sejak kecil. Tapi hujan kali ini sangat menyakitkan.
"Kamu baik-baik saja?" anak laki-laki usia lima belas tahun bertanya. Ya. Namanya Esok. Mereka berdua masih berdiri di perempatan pusat kota. Saat itu, mereka masih kecil, belum tahu apa itu "Cinta"?
Esok sangat cerdas dan cekatan di tempat pengungsian mereka. Tiga tahun kemudian, Esok diangkat oleh Walikota. Hingga kejadian itulah yang memisahkan Lail dan Esok.
Singkat cerita Esok dan Lail saling membutuhkan, saling mencari, dan saling merindukan. Namun, pendidikan dan tanggung jawab harus ditempuh oleh Esok. Jarak dan waktu memisahkan mereka. Disaat hujan tiba, rindu akan kenangan itu muncul kembali dibenak dan pikiran Lail. Itu yang selalu dipertanyakan oleh Maryam, sahabat Lail, sejak di asrama.
Lail, menyimpan seribu pertanyaan apakah Esok mencintainya, merindukanya, dan menginginkannya. Namun, Lail tidak percaya diri, dia hanya bisa menunggu dan menunggu hingga berumur 21 tahun usianya. "Menunggu selama 8 tahun lamanya, selama esok kuliah hingga menjadi profesor, menjadi ilmuan muda dan terkenal saat itu.
- Epilog -
Di televisi, pemimpin empat negara mengumumkan tentang proyek kapal raksasa tersebut. Umat manusia akan tetap bertahan hidup. Tidak di permukaan, tapi di angkasa luar. Sementara yang tinggal, telah tiba masanya untuk benar-benar bekerja sebagai satu umat manusia, menghadapi masa-masa sulit dengan saling mengutamakan kepentingan bersama.
Penonton di rumah, di asrama, di panti, di kantor, berpegangan tangan mendengar seruan itu.
Satu bulan kemudian, Esok dan Lail menikah, di tengah terik matahari. Esok menggenggam erat jemari Lail, berbisik, " Kita akan melewati musim panas bersama-sama. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi."
Lail mengangguk. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Kutipan yang dibaca Maryam benar. Bukn seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami. Elijah yang telah menangani ratusan pasien juga benar. Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi, menerima. Barang siapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.
Kisah Hujan sangat seru untuk dibaca, dimulai dari peradaban umat manusia yang sangat canggih hingga pada saatnya akan mengalami kesulitan. Kisah ini dibalut dengan kisah percintaan. Yuhu, yang penasaran silahkan beli novelnya Hujan ~ Tere Liye
Komentar
Posting Komentar