APA KATA PETANI KITA
Saya adalah seorang mahasiswa amatiran. Ya. Sama seperti mahasiwa pada umumnya. Namun, yang membedakan yaitu saya tidak ingin disamakan oleh mereka. Pekerjaan sehari-hari yang saya lakukan setelah pulang kuliah yaitu jalan-jalan dan sesekali berjualan. Entah jalan-jalan melihat jalan, eh iya sih jalanan persawahan dan pantai. Hanya itu yang saya suka dibandingkan dengan jalan-jalan ke mall. Oh iya saya juga sesekali berjualan. Jualan apa sih? mungkin bisa dikatakan tidak menentu, saya hanya mengikuti trend atau musim. Itu hanya sekedar hobi dan dar sanalah saya bisa mendapatkan uang jajan tambahan.
Kok panjang ceritanya. Langsung ke topik aja ya. Disini saya seorang mahasiwa pertanian. mendengar kata pertanian, biasanya orang beranggapan bahwa saya akan menjadi seorang petani yang kerjanya di sawah, panas-panasan dan kotor. Itu adalah anggpan yang salah. Bagi orang yang tidak mengerti mahasiswa pertanian itu seperti apa pasti akan beranggapan seperti itu. Padahal, di dalam Fakultas Pertanian terdapat beberapa jurusan. Ada yang di Budidayanya dan ada juga yang di sosial ekonominya. Nah, disini saya termasuk ke dalam jurusan sosial ekonomi pertanian. Jika diceritakan akan sangat panjang dari A sampai Z. Dan yang jelas pertanian itu artinya luas.
Dalam topik ini saya akan bercerita tentang petani. Saat ini saya tinggal di Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat. Beberapa pengalaman saya dalam kegiatan blusukan, eh jalan-jalan melihat sawah dan lahan pertanian di kota, hari itu saya mengunjungi sebuah gubuk bisa dibilang itu tempat para berkumpulnya para petani kalau lagi beristirahat. Gubuk itu bisa dikatakan seperti berugak ukurannya 2x3 meter memiliki 4 sisi dari tiang kayu, alas duduknya terbuat dari bambu dan atapnya jerami yang sudah lapuk ditelan waktu. Saya iseng saja mampir, dengan tujuan ngadem alias cari angin karena disana tempat terbaik untuk mencari angin segar dengan pemandangan yang indah di depannya terdapat hamparan padi menguning yang malainya mulai merunduk. Ini mah siap dipanen, paling tiga hari sampai seminggu kedapan akan di panen.
Asik-asik ngadem. datanglah pak tani. Ada 2 orang petani. Ciri-cirinya yang pertama orangnya tinggi, badannya kurus, warna kulitnya gelap, memakai baju koko dan di prediksi berumur sekitar 50 tahun. Mungkin saja baru pulang dari masjid. Sedangkan petani yang kedua orangnya agak pendek, badannya agak gemuk, warna kulitnya gelap, tidak memakai baju dan di prediksi berumur sekitar 45 tahun. Sepertinya pak tani yang ini baru pulang dari sawah deh. Tidak berlangsung lama, percakapan pun dimulai. Saya memulai percakapan dengan kedua pak tani tersebut. Pak tani pertama bernama Dul dan petani kedua bernama Hip. Pak Dul dan pak Hip secara langsung menceritakan pekerjaan mereka setiap hari di sawah. Pagi mengecek sawahnya hingga pukul 10 pagi, terkadang memberi pupuk, mengusir burung atau sekedar mencabut gulma atau rumput-rumput liar. Sedangkan jika sudah siang pak tani pulang untuk istirahat. Sore hari kemudian, pak tani juga mengecek kembali kesawahnya. Ya, terkadang ada saja burung yang mengganggu padi. Apalagi padinya sudah mulai menguning dan siap panen.
Sepontan saja saya menanyakan bagaimana sih keadaan perekonomian bapak selama menjadi petani yang sudah puluhan tahun ini. Pak Dul dan pak Hip menjawab secara bersamaan Alhamdulillah. Ya, itulah petani kita selalu mengatakan cukup, walaupun banyak sekali beban hidup mereka. Mereka memiliki anak rata-rata 5 orang, dengan pendapatan 4 bulan sekali. Pak Dul dan pak Hip harus berjuang menanam padi selama 4 bulan lamanya, barulah setelah padi itu menjadi beras mereka akan mendapatkan uang. Kepolosan dan kemurahan hati pak tani yang mengaku bahwa mereka tidak bersekolah membuat saya bangga. Walaupun mereka tidak bersekolah tetapi hatinya sangat bersih. Saya akui itu setelah bercerita panjang lebar tentang kehidupan runtut raut kehidupan di kota saat ini. Lahan pertanian semakin sempit yang mulai di alihfungsikan menjadi bangunan komersial seperti perumahan dan pertokoan. Sedangkan pak tani hanya mampu menyewa lahan itu. Jika orang yang memiliki lahan tersebut mengalihfunsukan lahannya, mau menanam apa pak tani? Lantas bagaimana kita akan mendapatkan beras untuk makan? Inilah problematika suatu negara yang sesungguhnya.
Tentunya kita semua tahu Indonesia meupakan negara agraris. Negara yag dulunya terkenal dengan hasil alamnya, kini bernasib miris. Faktanya, menurut Badan Pusat Statistik dalam kurun waktu 10 tahun petani Indonesia mengalami penurunan sebesar 5 juta orang. Dan diperhitungkan dalam kurun 50 tahun sudah tidak ada lagi petani di negeri ini atau bahkan tidak sampai 50 tahun. Duh, melihat faktanya seperti ini jadi miris ya, jangan sampai generasi muda mengabaikan profesi petani ini karena profesi petani jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan rupiah yang tidak sedikit loh. No farmer No Food, No Food No Life.
Sekian.
Sekian.
Komentar
Posting Komentar